CERPEN SERIES : TRUST ( NO BODY CAN BE TRUSTED)




 

Kepercayaan bukan suatu hal yang mudah untuk diberikan, tetapi kadang terenggut begitu saja tanpa diperkirakan waktunya, bahkan tak jarang kepercayaan itu dicuri oleh kebohongan. Kebohongan yang dibentuk dari sikap manis yang mengalihkan kepercayaan itu sendiri. Para gadis adalah korban dari kekeliruannya sendiri saat melepas kepercayaan pada suatu hal yang diinginkannya.

Rasa nyaman adalah pelaku yang paling utama dalam mengalihkan kepercayaan itu sendiri, bahkan tak jarang karena rasa nyaman itu, kepercayaan terlepas begitu saja, terlepas kepada orang yang salah. Namun, karena rasa nyaman itu pula kejujuran hadir di tengah-tengahnya,dan saat kejujuran itu muncul, berharap bisa mempertahankan kepercayaan itu agar terus kokoh. Di sini banyak kisahku yang salah, salah dalam melepas kepercayaanku, hingga akhirnya membuatku membendung kepercayaan seorang diri. Menahan semua rasa agar tidak berlebih dalam mencinta, karena kepercayaanku yang terlepas begitu saja pulalah yang membuatku luka hingga kini. Semua hal yang tak sesuai dengan harapan yang pernah terjadi di masa lalu hanya akan mengundang penyesalan, dan semua orang tahu akan hal itu. Sebagian orang hanya keliru dalam memercayai sesuatu, dan akhirnya menganggap mereka ditipu, lantas siapa yang harus mereka salahkan ? Pernahkah mereka menyalahkan diri mereka sendiri atau malah ingin menyalahkan waktu.

            Dulu, Aku pikir waktu adalah “pencuri”, mencuri segala hal terindah di hidupku. Tetapi aku salah, waktu bukan tersangkanya, ia selalu “memberi” sebelum ia “mengambil” segalanya dariku. Tiap detiknya adalah anugerah. Aku takkan menyalahkan waktu, karena aku tak kan bisa mengubah masa lalu, tetapi aku bisa belajar untuk itu. Aku juga takkan menyalahkan kisah yang membuatku pilu, semua yang terjadi karena kekeliruanku, aku berusaha untuk tidak menyalahkan siapa pun yang pernah kutemui dan mengambil kepercayaanku hingga timbulnya kekecewaan sebagai balasannya.

Ini hanya sebuah kisah cinta yang pernah kupercaya bisa membuatku bahagia, walau banyak yang salah, namun kisah itu pulalah yang membuatku kuat untuk mewarnai pengalamanku, sampai kusadari akhirnya bahwa aku sedang di percaya untuk menjaga hati seseorang

 

~ Trust ~


 

TRUST

(Si)apa pun yang pernah kupercayai sebelumnya,tak jarang membuatku jera untuk percaya pada hal berikutnya, tetapi ketika sebuah kepercayaan diberikan untukku, aku merasa tak sanggup menjaga hal itu, namun keyakinannya terus kokoh memercayaiku dan  membuatku merasa sangat berharga akan hal itu.

No body can be trusted, but be trusted by somebody is a honor for me.

~~~ * ~~~



 

(Untuknya yang pernah memasuki hidupku)

DIA

Hadirnya hanya sekilas di hidupku

Namun meninggalkan luka yang tak terhapus oleh waktu

Tertawa hanya sekadar tuk tenangkan jiwa yang hampa

Sempat ku terdiam di tengah heningnya malam

Mencoba memaafkan dan melupakan.

~ 0 ~


 

 

(Untukmu yang tak pernah keluar dari hidupku)

KAMU

Terima kasih telah memberikan kepercayaanmu.

Maaf! Sempat kecewakanmu.

Penantianmu menyadarkanku, bahwa kau bukanlah sebuah kesalahan

Kau adalah jawaban dari doaku yang akhiri penantianku.

Bagaikan embun pagi, kau lepaskan dahaga kemarau

Bagaikan bintang jatuh, Kau akhiri harapan di hati

~~~ 0 ~~~





 


POHON

Bagaikan sebuah pohon,

Kepercayaan akan terus tumbuh, apabila selalu dipupuk dengan “Perbuatan baik “

Serta disiram dengan segelas “Kata-kata manis” setiap harinya,

Dan akan terus berfotosintesis apabila disirami dengan “kenyamanan dihati”

Namun, saat parasit datang menawarkan “Janji Manis”

Batang pohon yang dulu kokoh perlahan rapuh,

Daunnya kian melayu dan mengering bahkan perlahan gugur karena “Kebohongan”

Sebuah pohon itu tumbang dan hancur akibat sebuah “Pengkhianatan”.

Kini semua hanya bibit “Kepercayaan “ yang masih tersisa,

Entah kapan akan kembali tumbuh seperti pohon besar yang berbuah lebat.

Description: D:\AY\Trust\Trust Novel\Wind.png~ Trust ~

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RINDU

Ingin rasanya aku mendengar suaramu untuk meredakan rinduku. Namun, aku sadar aku bukan siapa-siapamu lagi, bahkan mungkin tak pernah kau anggap aku ada, entah apa artinya segala hal yang pernah terjadi kemarin.

Rasa sunyi ini terus membuatku sepi, sedih, bahkan ketika berada di tengah keramaian semuanya terasa hampa, dalam tawa pun terasa sedih. Aku terbiasa denganmu, ponselku selalu berdering karenamu, semua terasa ramai saat kita masih menjalin komunikasi, ingin sekali aku menghubungimu, menyampaikan segala rindu ini melalui kata-kata yang akan terucap dari bibir ini. Tetapi keinginanku terhenti saat teringat akan rasa pahit ini, ketika kau pergi tanpa alasan satu pun, bahkan tak terucap salam selamat tinggal darimu,  yang kuingat hanyalah janjimu yang tidak akan pernah meninggalkanku.

Kini sudah tujuh bulan lamanya kau meninggalkanku, sejak November tahun lalu, namun rasanya baru kemarin kita menikmati keindahan kebun teh di desa itu. Kau genggam erat tanganku ketika kita menaiki sedikit demi sedikit bukit yang ada di kebun teh itu. Masih terngiang segala kalimat yang kau ucap untuk menghiburku kala itu, bahkan semuanya masih terasa hingga detik ini. Hanya saja dirimu yang tidak lagi sama.

Aku sadar aku tak sehangat mentari yang bisa menghangatkan mu,

Aku sadar aku tak seindah pelangi yang bisa kau kagumi.

Aku pun sadar bahwa aku tak berdaya, aku tak bisa apa-apa bahkan ketika kamu pergi menjauh aku tak bisa mencegahmu. Untuk membenahi diriku pun aku tak tahu harus mulai dari mana, karena hingga saat ini aku tak mengerti apa kesalahanku dan mengapa kau meninggalkanku.

Aku hanya bisa menerka-nerka kenapa kau pergi, tapi kutahu dan yakin kau punya alasan yang kuat, dan memang kita tidak akan pernah bisa bersatu sejak pertama  aku mengenalmu. Hingga aku pun tak punya alasan untuk tetap memintamu bertahan untukku, walau ingin rasanya aku memelukmu, dan ingin kubisikikan, “Ayo… kita ulang dari awal lagi, ayo kita tertawa bersama lagi, aku merindukan mu!”.

Entah berapa ribuan kali kau berada dalam mimpiku. Aku coba mengerti, menerima semua ini, tak ada yang salah dari dirimu mungkin aku yang terlalu harapkanmu.

Tak bisa kuingkari betapa kau berarti, andai saja kau bisa mengerti perasaanku, namun sepertinya sulit kau mengerti, atau mungkin  kau saja yang tak mau mengerti.

Perlahan kucoba lupakanmu, aku tak mau terus berlarut dalam rasa yang tak pasti ini, bahkan untuk menunggumu kembali sebentar saja pun terasa mustahil, atau mungkin di sana kau sedang berbahagia entah sama siapa.

Kata per kata kurangkai dan kutuliskan dalam sebuah buku, dan kuharap suatu saat kau melihat dan mengerti tentang kenangan kita yang mungkin tidak pernah kau kenang. Walau kan teramat panjangnya puisi untuk menyuratkan rasa ini, segala mimpi sudah kukubur kala kuingat pedihnya semua ini.

Kupupuskan semua harapan ini, saat kumengingat semuanya. Takut rasanya memercayai apa pun di dunia ini. Aku takut merasakan kecewa lebih dalam lagi ketika kupercayakan hatiku pada seseorang.

Aku tak tahu dengan kata apa atau dengan kalimat apa yang bisa membuat kupercaya akan rasa cinta terhadap seseorang lagi, bahkan rasanya ingin kututup rapat-rapat pintu hati ini. Karena dulu terlalu mudah kuberikan hati ini pada mu, hati yang sempat terjatuh kala pertama  kali kutatap matamu dan kulihat manisnya senyummu malam itu, malam di mana semuanya dimulai dengan singkat.

MENGENANGMU

Pertemuan kita

Suatu sore di kafe favoritku, kumpulan sketch book tersusun rapi di depanku, satu buku yang masih membuka lebar setiap kertasnya.  Ujung pena tergores di atasnya, garis-garis bersatu membentuk suatu gambar yang menceritakan sebuah kisah. Aku sangat suka menggambar, karena lewat gambar kuungkapkan segalanya,semua harapkanku akan segala yang kuinginkan di dunia ini. Aku bisa mencurahkan isi hatiku lewat gambar yang kulukiskan di atas kertas, dan akan kusimpan untuk jadi koleksi pribadiku.

Melihat banyaknya karyaku yang katanya cukup berbakat, Lisa menyarankanku untuk menuangkan segala inspirasiku ke dalam sebuah karya yang tidak hanya bisa menjadi sebuah koleksi pribadi, namun bisa dinikmati banyak orang, dan kebetulan saat itu ada Comic Chalange yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.

Mungkin, tidak ada salahnya bila kucoba menuangkan inspirasiku menjadi sebuah karya yang mungkin bisa menginspirasi banyak orang nantinya.” pikirku saat itu.

Kucari informasinya, kulengkapi segala persayaratannya satu per satu, setelah semuanya lengkap, aku pun mulai mencari ide-ide dan inspirasi untuk menggambar.

Hampir setiap hari aku habiskan waktu  sendirian berada di taman dekat kosku, dengan ditemani sketch book yang tidak terlalu besar, yang hanya berukuran A5.

yah … cukuplah untukku taruh dalam tasku yang memang tidak berukuran besar.

Aku memang tipe gadis yang simpel, tidak suka dengan hal yang ribet, termasuk dalam soal (fahion style) pakaian maupun perlengkapan seperti tas dan barang-barang lainnya.

Mulai kugoreskan sedikit demi sedikit garisan, membentuk sebuah gambar yang menceritakan segala hal dalam pikiranku hari itu. Setiap embusan angin yang meniup ke arahku, menyapu setiap kejenuhan yang bisa membuatku bosan dengan kehidupan ini.

Namun,setiap kali angin berembus ke arahku, menyadarkan bahwa aku masih memiliki rasa, sebuah rasa yang entah terasa apa.

Hidup yang terasa tak berwarna, sekalipun berwarna mungkin hanya hitam dan putih yang hanya merwanai hidup  ini. Hal itulah yang membuatku menyukai sebuah gambar, karena lewat gambar aku bisa mewarnainya sesuka hatiku dengan warna apa pun yang kumau, bahkan menyatukan setiap potongan gambar menjadi sebuah halaman komik membuatku bisa mengatur hidupku sesuai dengan ekspektasiku. Akulah yang menjadi author-nya, akulah yang menjalankan ceritanya sesuai keinginanku. Sayangnya itu hanyalah sebuah cerita komik, karena pada kenyataannya, dalam hidup ini aku hanyalah seorang yang mengikuti segala skenario Tuhan dalam sebuah takdir yang tidak kuketahui alur ceritanya bahkan tak bisa kubaca setiap paragrafhnya.

Hari demi hari kulewati dan kuhabiskan sendirian di taman yang berada dekat dari kosku, kira-kira kurang dari lima menit jalan kaki. Namun, tak jarang kuhabiskan waktuku sendirian di sebuah kafe yang juga tidak terlalu jauh dari kosku, sembari mencari beberapa referensi untuk ide dalam komikku. Tanpa kusadari sudah sebulan lamanya aku terus menggambar di dalam sketch book ini.

Sampai suatu hari aku meminta pendapat kepada temanku yang memang sudah pernah menerbitkan beberapa komik, mulai konsultasi kepadanya tentang tahapan-tahapan yang harus kujalani dalam pembuatan komik itu.

Aku memilih genre Romantis sebagai aliran komikku, karena memang banyak permintaan dari teman-temanku yang kisah cintanya menginspirasiku, dengan dipadukan seidikit komedi yang akan menjadi pemanis dalam cerita komik itu.

Siang itu, aku menemui Bram, meminta sarannya tentang konsep dan ilustrasi dari gambarku, syukurnya tidak banyak dari gambar dan cerita komikku yang harus direvisi, lalu ia menanyakan sesuatu yang merupakan bagian penting dalam pembuatan komik  digital.

Untuk desainer dan editornya gimana nih, Ra? Gambarnya udah keren nih, ceritanya juga menyentuh, harus cari desainerdesainer profesional saja… ” sarannya padaku.,

Aku bisa desain kok, yah cuman desain pakai Corel Draw App doang sih, yah lumayanlah daripada harus repot-repot cari desainerdesainer lagi.sanggahku.

Sayang loh,... kalau didesain abal-abal, gambarnya bagus nih, kamu nih bikin komik digital loh, yang bukan hanya cerita yang harus kamu buat menarik, namun gambar dan ilustrasinya harus bisa terlihat hidup agar meningkatkan minat para pembaca.” jelasnya.

Aku mulai berpikir ke mana bisa kutemukan desainer-desainer yang memang bisa bekerja sama denganku. Sebenarnya aku kurang suka melakukan sesuatu hal apalagi pekerjaan dengan sistem tim seperti itu, yah … sudah menjadi rahasia umum bahwa menyatukan pikiran dengan orang lain itu tidak semudah mencari orang yang mau bekerja sama dengan kita.

Yah sudah Bram, kamu aja yang  jadi desainerku, gimana? Kita temenan udah lama, masa iya kamu nggak mau bantuin aku.” aku membujuk Bram, daripada harus susah- susah cari desainer yang belum kukenal sama sekali.

“Bukannya nggak mau Ra, tapi aku lagi ada proyek besar, aku juga sibuk, kalau seandainya saja aku free, aku bantuin kok, tapi kamu kan ngerti kesibukanku Ra, maaf ya Ara.”

Memang sih, Bram cukup sibuk dengan pekerjaannya. Aku mulai bingung harus ke mana mencari desainer yang bisa membantuku dalam proyek ini.

Melihat wajahku cemberut, mulai gelisah  dan kebingungan harus bagaimana, ia pun memberiku saran, “ Coba deh Ra, kamu cari fotografer, biasanyakan para fotografer bisa design tuh, menguasai aplikasi Photoshop juga.” ujar Bram.

Aku harus cari di mana, Bram. Apa iya mau bantuin aku?”

Ga ada salahnya kan, dicoba …?! Coba kamu cari di Instagram atau ga di media sosial lainnya, nanti coba ajak kenalan, tanyain bisa bantu apa nggak, kan kali aja kamu nemu jodoh di sana, ya kan … haha. saran Bram yang mengejekku.

“Aahhh … bisa aja kamu. Oke deh nanti aku coba, kalau kamu punya kenalan atau teman yang bisa design kabari juga ya, Bram.”

Setelah mengobrol panjang lebar, diskusi ini itu tentang komik ku, tak terasa hari sudah sore, aku  pulang terlebih dahulu karena memang ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan.

Keesokan harinya, sepulang kuliah, tepatnya jam 4 sore aku kembali ke kos. Rasa bosan yang terus menghampiri membuatku jenuh dan otak pun terasa tidak bisa bekerja dengan baik, terasa seperti laptop yang kepenuhan memory dan kalau di-download beberapa file lagi, bisa error habis. Aku pikir lebih baik aku menggambar beberapa scene di coffe shop dekat kos. Dengan mengenakan sweater abu-abu, celana jeans hitam panjang, dan sepatu Sneakers perpaduan abu-abu dan putih, kubawa beberapa sketch book, drawing pen, dan pensil yang ada di dalam sweet ransel minimalisku. Sesampainya di coffe shop, aku memesan Hot Greentea latte, dan cheese cake strawberry yang menjadi menu andalan di coffe shop tersebut dan memang sebagai menu favoritku di sana. Aku duduk di pojok samping kaca, yang memang memiliki view hijau sejauh mata memandang, rasanya sangat fresh dan bisa memenangkan pikiran, secara tiba-tiba mendatangkan ide-ide yang luar biasa.

Lantunan lagu-lagu syahdu terdengar melalui earphonet yang tersambung dengan ponselku, membuat cerita yang kugambarkan terasa hidup. Bagaikan backsound di serial drama-drama korea, terkesan romantisme yang tersirat dalam gambar itu bisa terasa menyentuh dan membuatku sangat menjiwai kala menggoreskan pensil di atas kertas sketch book-ku itu.

Kurang lebih dua jam sudah lamanya aku duduk sambil menggambar di coffe shop itu, tiba-tiba datang seorang gadis gendut pendek yang tertawa sembari menyapaku dan tiba-tiba duduk di hadapanku.

“Kaaaaakkkk … ngapain sendirian di sini, kayak nggak punya temen aja lu, hahahha…” ia mengejekku, sambil menarik earphone yang ada di telingaku. Ternyata Tiwi, dia bukan saudaraku, tapi hubungan keluarga kami sangat dekat, jadi aku menganggapnya sudah lebih dari saudara jauh bahkan sudah terasa seperti adikku sendiri. Dia memang selalu bersifat kekanakan dan paling usil.

Hobinya berburu cowok ganteng, gonta-ganti gebetan yang nggak jelas ending-nya seperti apa. Setiap kali bertemu denganku, ia selalu menceritakan para gebetannya yang saat itu sedang dekat dengannya, dari mulai seorang mahasiswa hingga seorang pengusaha. Dia memiliki banyak kenalan lelaki, yang dikenalnya melalui media sosial. Menurutku, kenalan atau dapat gebetan dari media sosial, rasanya sedikit meragukan, memang meragukan sih, yah … secara kita nggak tahu seperti apa mereka, apa latar belakangnya, bahkan kita pun nggak tahu seperti apa wajah pengguna sosial yang chatting-an dengan kita, bisa aja kan … mereka menggukan foto profil palsu, yang dibuat semenarik mungkin, untuk menarik lawan chatting-annya. Rasanya kurang percaya untuk berteman lebih jauh melalui media sosial, bahkan tak sedikit kejadian kriminal yang dialami dan dilakukan oleh pengguna media sosial. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa sampai saat ini aku tidak memiliki banyak teman. Dibandingkan Tiwi, aku hidup terlalu banyak perhitungan, bahkan untuk berteman pun aku tidak bisa percaya begitu saja, bagiku tidak ada satu orang pun yang tulus di dunia ini dan tidak ada seseroang pun yang bisa kupercayai di sini.

Tiwi terus menceritakan berbagai tipe lelaki yang ia kenal dari media sosial tersebut, yang bahkan mungkin ia sendiri pun belum pernah menemuinya.

Eh … ini loh kak, aku dapat temen baru, ia seorang ffotografer, lumayan cakep kok, lihat nih Instagramnya.” Ia menunjukkan beberapa foto lelaki itu, tapi tak ada sedikit pun rasa ketertarikanku terhadap pria yang ia ceritakan, bahkan aku pun tidak memedulikan apa yang ia ceritakan selama itu. Aku terus menggambar.

Tiwi mengajakku berfoto bersama di kafe tersebut, ia  mengirimkan foto kami berdua kepada salah satu kenalannya.

Kak... ini ada temenku minta nomor handphone-mu, gimana kasih nggak?

Nggak usah Dek. Aku juga nggak kenal.” sahutku dengan nada datar.

Ya udah aku bilang Kakak sudah nikah yah.” kata Tiwi sambil mengirim beberapa pesan singkat kepada temannya yang bahkan aku sendiri pun tak tahu itu siapa.

Setelah ia bercerita panjang lebar, yang aku pun tak tahu manfaat dan inti pembicaraannya itu, ia pergi meninggalkanku sendiri di coffe shop itu. Kulanjutkan beberapa scene gambar yang ada di sketch book. Sembari menggambar aku teringat sekilas tentang cerita Tiwi mengenai fFotografer tadi, aku teringat akan saran Bram untuk mencari seorang ffotografer. Teringat akan hal itu, kutuliskan kata “Photoworks” di kolom pencarian di salah satu media sosial yang kupunya. muncul beberapa list ffotografer dengan nama-nama alay kebanggaan mereka.

Kucari satu per satu fotografer yang sekiranya bisa meyakinkanku dan bisa membantuku dalam project ini. Muncul satu nama teratas, terlihat di profilnya ia berteman dengan Tiwi.

 Mungkin ini bisa membantu, apa lagi sepertinya dia sudah mengenal Tiwi, mungkin ini temannya Tiwi.” Aku bergumam seorang diri.

Aku coba mem-follow akun Instagram-nya, hanya saja aku bingung harus memulai chat dari mana. Ya udah nge-chat nya nanti ajalah, nggak tahu juga harus mulai dari mana. Aku menutup ponselku, dan mengemasi beberapa barang yang masih berantakan di atas meja kafe. Kulihat, banyak bangku kosong di sekelilingku, dan ternyata hari memang sudah malam. Aku menutup sketch book dan peralatan lainnya, keluar dari kafe tersebut lalu kembali ke kos yang memang hanya berjarak berapa meter dari kafe itu.

Sesampainya di kamar, handphone-ku berdering. Terlihat ada pemberitahuan dari Instagram yang muncul di layar ponselku, fotografer yang ku-follow tadi sewaktu di kafe ternyata merespons balik, yah ini bisa sedikit memudahkanku untuk mulai komunikasi.

“Hi kak.” sapanya, ia menge-chat-ku terlebih dulu, aku rasa ini awal yang baik, aku tidak perlu repot-repot untuk memulai dan membuka pembicaraan, aku pun merespons chat itu dengan sangat welcome. Sebenarnya, aku tidak terlalu welcome pada orang baru, terlebih kepada orang yang hanya kukenal melalui media sosial, tapi aku pikir nggak ada salahnya dicoba, apalagi nanti aku mencoba menawarkan kerja sama padanya, terlebih sepertinya ia sudah berteman dengan Tiwi.

“Hi J…” balasku menyapanya.

Tinggal di mana nih?”,

Tinggal di Jogja Mas, kamu?”

“Jogja juga, lagi apa nih …” ia terus memberikanku banyak pertanyaaan, sehingga tak terasa kami mengobrol panjang lebar lewat chat tersebut. Sampai kemudian dia  meminta kontak person-ku agar bisa memudahkan kami dalam berkomunikasi. Tanpa ragu, aku pun memberikan nomorku kepadanya.

Tak biasanya aku seramah ini pada orang asing, apalagi sampai memberikan nomor HP-ku kepada orang yang baru kukenal, terlebih aku mengenalnya hanya melalui media sosial, yang sebelumnya sangat kuhindari untuk mengenal.orang baru dari media sosial.

Tapi, aku coba berpikir positif, nggak ada salahnya berteman, terlebih ia pernah membahas beberapa tentang Tiwi, ia menanyakan hubunganku dengan Tiwi. Awalnya aku sedikit kaget, dari mana ia tahu bahwa aku punya hubungan dengan Tiwi. Ia melihat beberapa fotoku bersama Tiwi yang pernah ku-posting. Lalu,ia menceritakan sedikit tentang Tiwi padaku. Hal itu sedikit membuatku lega, yah setidaknya ia berteman dengan orang yang kukenal. Aku pun tak sungkan untuk lebih terbuka kepadanya.

Kami mulai terasa lebih akrab, aku merasa nyambung ngobrol dengannya, topik dan candaan kami terasa tidak membosankan, bahkan terasa seperti teman lama yang baru bertemu kembali, padahal belum genap 24 jam aku berkomunikasi dengannya, bahkan bertemu dengan orangnya pun belum pernah.

Aku merasa heran kepada diriku sendiri yang tak biasa semudah ini kenalan bahkan dekat dan seramah ini dengan orang baru.

Kami terus chatting-an hingga tak kami sadari bahwa malam sudah semangkin larut, dan ku lihat jam di ponselku  menunjukkan tepat pukul 00.10 wib, tapi tak sedikit ada rasa kantuk pada malam itu, sampai akhirnya ia pun mulai menutup pembicaraan dengan ucapan “good night “. Semenjak hari itu rasanya mulai berbeda, aku sampai lupa membahas mengenai desain yang memang merupakan tujuan awalku untuk menghubunginya. Keesokan paginya Hp-ku berdering lagi, terlihat ada tanda pesan masuk.

“Good morning  Greeting pertama yang kuterima pagi itu, tepat pukul 06.00 pagi. Aku tersenyum sambil menatap pesan singkat darinya.

Biasanya, hal pertama yang kuperiksa di pagi hari ialah gambar-gambar di sketch book-ku, bukannya handphone. Karena memang tak ada yang harus kuhubungi, terlebih orang spesial yang selalu memberi greeting setiap waktu. Aku membalas pesan singkat darinya, dan pembicaraan kami melalui koneksi internet dimulai dari pagi itu. Entah kenapa terasa sangat akrab sekali, aku tak segan sedikit pun bercanda dengannya, mengejeknya, tertawa, dan terbawa suasana dalam obrolan itu.

Sore harinya, dia mengajakku keluar sekadar mencari angina,, tanpa rasa ragu aku pun bersedia keluar bersamanya.

“Nanti sore, kita jalan ya … mau nggak?

Iya, jemput aja di kos.

Tepatnya di hari Jumat di bulan November pukul 17. 40 sore ia menjemputku di kos, pertama kalinya aku bersedia jalan dengan orang yang belum kukenal sama sekali, dengan orang yang bahkan baru berkomunikasi denganku selama satu hari.

Tapi entah kenapa, tak ada sedikit rasa ragu, ketika ia mengajakku keluar bersamanya.

Setibanya di depan kos-ku, seorang lelaki dengan mengenakan sweater biru,  celana jeans hitam panjang, tas kecil yang disandangnya, dan mengenakan kaca mata, tapi tak jelas kulihat wajahnya, karena ia mengenakan helm racing yang menutupi sebagian wajahnya.

Aku tersenyum, melihat ia berada di depanku sore itu, kemudian ia  memintaku naik dan duduk di motornya. Malam menjelang, kami tiba di sebuah kafe, dengan konsep outdoor rooftop. Kami  memilih duduk di meja pojok kanan atas lantai 3, di mana semua view terlihat indah dari sana .

Aku sangat suka menatap bintang di langit, terasa damai dan tenang, terlebih embusan angin yang menyentuh kulitku, terasa sangat damai malam itu. Kulihat jelas wajahnya, berada tepat di depanku, tatapan matanya yang begitu tajam, menghanyutkan. Senyumnya yang manis membuatku tersipu malu. Diiringi dengan lantunan lagu merdu , melarutkan suasana yang ada pada malam itu. Kami bercanda, tertawa bersama, menceritakan tentang kehidupan kami masing-masing, di mana aku merasa pertama kalinya terbuka tentang kehidupan pribadiku. Mungkin aku mulai menyukainya. Kutatap matanya, kulihat senyum manisnya, entah kenapa seperti tersirat harapanku padanya.

Sesekali ia genggam tanganku, tak keberatan sama sekali, bahkan kubalas genggaman tangannya, sembari kembali menatap matanya. Orang yang melihat kedekatan kami pada malam itu, mungkin tak akan mengira bahwa itu adalah pertemuan pertama kami. Asyiknya pembicaraan kami malam itu, hingga tak terasa sudah larut malam, bahkan kafe itu pun sudah siap-siap untuk tutup.

Kami pulang, namun hujan rintik-rintik menghambat perjalanan kami, sesekali kami menunggu hujan reda di beberapa tempat. Rasa lapar juga turut menghambat kepulangan kami, hingga sembari menunggu hujan reda, kami singgah di kios sate pinggir jalan. Di sana kami bercerita tentang sedikit kuliner kesukaan masing-masing.

Aku memang suka sekali kuliner, bahkan setiap kali traveling baik di dalam maupun luar negri, Kuliner menjadi tujuan pertamaku. Setiap topik pembicaraan yang kami pilih terkesan kebetulan, tapi memiliki kesamaan. Tidak ada keraguan lagi untuk bekerja sama atau berteman lebih jauh lagi dengannya.

Rasanya, malam itu terasa seperti malam yang panjang, bahkan sudah lama rasanya tidak tertawa seperti malam itu, melepaskan lelah, jenuh, berbagi becerita dengan seseorang. Ia berhasil membuatku merasa nyaman, terbuka, tertawa, bahkan membuatku lupa akan waktu.

Bermula dari tatap matamu
menyihirku dan merasuk dalam hati
kuteruskan menatap dirimu
perlahan kularut dalam khayalanku
entah mengapa semua terasa berbeda, apa itu karena kamu?

Terasa begitu lembut caramu meluluhkan aku
begitu hangat caramu takhlukkanku
Aku terbuai karna pandanganmu

Ini kah kamu...

Terasa begitu singkatnya waktu tuk hadirkan rasa ini.”

~~~~


Bersambung ....

Travel Lady

I love traveling so badly,why? Because i can see what i never see in my hometown, i can know that wolrd has many story which many kind of happiness and struggles from each story.

Post a Comment

Previous Post Next Post