Kepercayaan bukan suatu hal yang mudah untuk diberikan, tetapi kadang
terenggut begitu saja tanpa diperkirakan waktunya, bahkan tak jarang kepercayaan
itu dicuri oleh kebohongan. Kebohongan yang dibentuk dari sikap manis yang
mengalihkan kepercayaan itu sendiri. Para gadis adalah korban dari
kekeliruannya sendiri saat melepas kepercayaan pada suatu hal yang
diinginkannya.
Rasa nyaman adalah pelaku yang paling utama dalam
mengalihkan kepercayaan itu sendiri, bahkan tak jarang karena rasa nyaman itu,
kepercayaan terlepas begitu saja, terlepas kepada orang yang salah. Namun,
karena rasa nyaman itu pula kejujuran hadir di tengah-tengahnya,dan saat kejujuran
itu muncul, berharap bisa mempertahankan kepercayaan itu agar terus kokoh. Di
sini banyak kisahku yang salah, salah dalam melepas kepercayaanku, hingga
akhirnya membuatku membendung kepercayaan seorang diri. Menahan semua rasa agar
tidak berlebih dalam mencinta, karena kepercayaanku yang terlepas begitu saja
pulalah yang membuatku luka hingga kini. Semua hal yang tak sesuai dengan
harapan yang pernah terjadi di masa lalu hanya akan mengundang penyesalan, dan
semua orang tahu akan hal itu. Sebagian orang hanya keliru dalam memercayai
sesuatu, dan akhirnya menganggap mereka ditipu, lantas siapa yang harus mereka
salahkan ? Pernahkah mereka menyalahkan diri mereka sendiri atau malah ingin
menyalahkan waktu.
Dulu, Aku pikir waktu
adalah “pencuri”, mencuri segala hal terindah di hidupku. Tetapi aku salah,
waktu bukan tersangkanya, ia selalu “memberi” sebelum ia “mengambil” segalanya
dariku. Tiap detiknya adalah anugerah. Aku takkan menyalahkan waktu, karena aku
tak kan bisa mengubah masa lalu, tetapi aku bisa belajar untuk itu. Aku juga takkan
menyalahkan kisah yang membuatku pilu, semua yang terjadi karena kekeliruanku,
aku berusaha untuk tidak menyalahkan siapa pun yang pernah kutemui dan
mengambil kepercayaanku hingga timbulnya kekecewaan sebagai balasannya.
Ini hanya sebuah kisah cinta yang pernah kupercaya bisa
membuatku bahagia, walau banyak yang salah, namun kisah itu pulalah yang
membuatku kuat untuk mewarnai pengalamanku, sampai kusadari akhirnya bahwa aku
sedang di percaya untuk menjaga hati seseorang
~ Trust ~
TRUST
(Si)apa pun yang pernah
kupercayai sebelumnya,tak jarang membuatku jera untuk percaya pada hal berikutnya,
tetapi ketika sebuah kepercayaan diberikan untukku, aku merasa tak sanggup
menjaga hal itu, namun keyakinannya terus kokoh memercayaiku dan membuatku merasa sangat berharga akan hal
itu.
No body can be trusted, but be
trusted by somebody is a honor for me.
~~~ * ~~~
(Untuknya yang pernah memasuki
hidupku)
DIA
Hadirnya hanya sekilas di hidupku
Namun meninggalkan luka yang
tak terhapus oleh waktu
Tertawa hanya sekadar tuk
tenangkan jiwa yang hampa
Sempat ku terdiam di tengah
heningnya malam
Mencoba memaafkan dan
melupakan.
~ 0 ~
(Untukmu yang tak pernah keluar
dari hidupku)
KAMU
Terima kasih telah memberikan
kepercayaanmu.
Maaf! Sempat kecewakanmu.
Penantianmu menyadarkanku,
bahwa kau bukanlah sebuah kesalahan
Kau adalah jawaban dari doaku
yang akhiri penantianku.
Bagaikan embun pagi, kau lepaskan dahaga kemarau
Bagaikan bintang jatuh, Kau
akhiri harapan di hati
~~~ 0 ~~~
POHON
Bagaikan sebuah pohon,
Kepercayaan akan terus tumbuh,
apabila selalu dipupuk dengan “Perbuatan baik “
Serta disiram dengan segelas
“Kata-kata manis” setiap harinya,
Dan akan terus berfotosintesis
apabila disirami dengan “kenyamanan dihati”
Namun, saat parasit datang
menawarkan “Janji Manis”
Batang pohon yang dulu kokoh perlahan
rapuh,
Daunnya kian melayu dan
mengering bahkan perlahan gugur karena “Kebohongan”
Sebuah pohon itu tumbang dan
hancur akibat sebuah “Pengkhianatan”.
Kini semua hanya bibit
“Kepercayaan “ yang masih tersisa,
Entah kapan akan kembali tumbuh
seperti pohon besar yang berbuah lebat.
~
Trust ~
RINDU
Ingin rasanya aku
mendengar suaramu untuk meredakan rinduku. Namun, aku sadar aku bukan siapa-siapamu lagi,
bahkan mungkin tak pernah kau anggap aku ada, entah apa artinya segala hal yang pernah
terjadi kemarin.
Rasa sunyi ini terus membuatku sepi,
sedih, bahkan ketika berada di tengah keramaian semuanya terasa hampa, dalam
tawa pun terasa sedih. Aku
terbiasa denganmu, ponselku selalu berdering karenamu, semua terasa ramai saat
kita masih menjalin komunikasi, ingin sekali aku menghubungimu, menyampaikan
segala rindu ini melalui kata-kata yang akan terucap dari bibir ini. Tetapi
keinginanku terhenti saat teringat akan rasa pahit ini, ketika kau pergi tanpa
alasan satu pun, bahkan tak terucap salam selamat tinggal darimu, yang kuingat hanyalah janjimu yang tidak akan
pernah meninggalkanku.
Kini sudah tujuh bulan lamanya kau meninggalkanku, sejak
November tahun lalu, namun rasanya baru kemarin kita menikmati keindahan kebun
teh di desa itu. Kau genggam erat tanganku ketika kita
menaiki sedikit demi sedikit bukit yang ada di kebun teh itu. Masih terngiang
segala kalimat yang kau ucap untuk menghiburku kala itu, bahkan semuanya masih
terasa hingga detik ini. Hanya saja dirimu yang tidak lagi sama.
Aku sadar aku tak sehangat mentari
yang bisa menghangatkan mu,
Aku sadar aku tak seindah pelangi
yang bisa kau kagumi.
Aku
pun sadar bahwa aku tak berdaya, aku tak bisa apa-apa bahkan ketika kamu pergi
menjauh aku tak bisa mencegahmu. Untuk membenahi diriku pun aku tak tahu harus mulai dari mana, karena
hingga saat ini aku tak mengerti apa kesalahanku dan mengapa kau meninggalkanku.
Aku hanya bisa menerka-nerka kenapa kau pergi, tapi
kutahu dan yakin kau punya alasan yang kuat, dan memang kita tidak akan pernah
bisa bersatu sejak pertama aku
mengenalmu. Hingga aku pun tak punya alasan untuk tetap memintamu bertahan
untukku, walau ingin rasanya aku memelukmu, dan ingin kubisikikan, “Ayo… kita
ulang dari awal lagi, ayo kita tertawa bersama lagi, aku merindukan mu!”.
Entah
berapa ribuan
kali kau berada dalam mimpiku. Aku coba mengerti, menerima semua ini, tak ada yang salah
dari dirimu mungkin aku yang terlalu harapkanmu.
Tak bisa kuingkari betapa kau berarti,
andai saja kau
bisa mengerti perasaanku,
namun sepertinya sulit kau mengerti, atau mungkin kau saja yang tak mau
mengerti.
Perlahan kucoba lupakanmu, aku tak mau
terus berlarut
dalam rasa yang tak pasti ini, bahkan untuk menunggumu kembali sebentar saja pun terasa mustahil, atau mungkin di sana kau sedang berbahagia entah sama
siapa.
Kata per kata
kurangkai dan kutuliskan
dalam sebuah buku, dan kuharap suatu
saat kau melihat dan mengerti tentang kenangan kita yang mungkin tidak pernah
kau kenang. Walau
kan teramat panjangnya puisi untuk menyuratkan rasa ini, segala mimpi sudah
kukubur kala kuingat pedihnya semua ini.
Kupupuskan semua harapan ini, saat kumengingat semuanya. Takut rasanya memercayai apa pun di dunia ini. Aku takut merasakan kecewa lebih dalam
lagi ketika kupercayakan hatiku pada seseorang.
Aku tak tahu dengan kata apa atau dengan
kalimat apa yang bisa membuat kupercaya akan rasa cinta terhadap seseorang
lagi, bahkan rasanya ingin kututup rapat-rapat pintu hati ini. Karena dulu terlalu mudah kuberikan hati
ini pada mu, hati yang sempat
terjatuh kala
pertama kali kutatap matamu dan kulihat manisnya
senyummu malam itu, malam di mana
semuanya dimulai dengan singkat.
MENGENANGMU
Pertemuan
kita
Suatu sore di kafe favoritku, kumpulan sketch
book tersusun rapi di depanku, satu buku yang masih membuka lebar setiap
kertasnya. Ujung pena tergores di
atasnya, garis-garis bersatu membentuk suatu gambar yang menceritakan sebuah
kisah. Aku
sangat suka menggambar, karena lewat gambar kuungkapkan segalanya,semua
harapkanku akan segala yang kuinginkan di dunia ini. Aku bisa mencurahkan isi hatiku lewat gambar
yang kulukiskan di atas
kertas, dan akan kusimpan untuk jadi koleksi pribadiku.
Melihat banyaknya karyaku yang katanya cukup berbakat,
Lisa menyarankanku untuk menuangkan segala inspirasiku ke dalam sebuah karya
yang tidak hanya bisa menjadi sebuah koleksi pribadi, namun bisa dinikmati
banyak orang, dan kebetulan saat itu ada Comic Chalange yang diselenggarakan
oleh salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.
“Mungkin, tidak ada salahnya bila kucoba
menuangkan inspirasiku menjadi sebuah karya yang mungkin bisa menginspirasi
banyak orang nantinya.” pikirku
saat itu.
Kucari
informasinya, kulengkapi segala persayaratannya satu per satu, setelah semuanya lengkap, aku pun
mulai mencari ide-ide dan inspirasi untuk menggambar.
Hampir
setiap hari aku habiskan waktu sendirian
berada di taman
dekat kosku, dengan ditemani sketch book
yang tidak terlalu besar, yang
hanya berukuran A5.
yah
… cukuplah untukku taruh dalam tasku yang memang tidak berukuran besar.
Aku
memang tipe gadis yang simpel,
tidak suka dengan hal yang ribet, termasuk dalam soal (fahion style) pakaian maupun perlengkapan seperti tas dan
barang-barang lainnya.
Mulai
kugoreskan sedikit demi sedikit garisan, membentuk sebuah gambar yang
menceritakan segala hal dalam
pikiranku hari itu. Setiap
embusan angin yang meniup ke arahku,
menyapu setiap kejenuhan yang bisa membuatku bosan dengan kehidupan ini.
Namun,setiap kali angin berembus ke arahku, menyadarkan bahwa aku masih
memiliki rasa, sebuah rasa yang entah
terasa apa.
Hidup yang terasa tak berwarna, sekalipun
berwarna mungkin hanya hitam dan putih yang hanya merwanai hidup ini. Hal
itulah yang membuatku menyukai sebuah gambar, karena lewat gambar aku bisa
mewarnainya sesuka hatiku dengan warna apa pun
yang kumau, bahkan menyatukan setiap potongan gambar menjadi sebuah halaman
komik membuatku bisa mengatur hidupku sesuai dengan ekspektasiku. Akulah yang menjadi author-nya, akulah yang menjalankan ceritanya
sesuai keinginanku. Sayangnya itu hanyalah sebuah cerita komik, karena pada
kenyataannya, dalam
hidup ini aku hanyalah seorang yang mengikuti segala skenario Tuhan dalam sebuah takdir yang
tidak kuketahui alur ceritanya bahkan tak bisa kubaca setiap paragrafhnya.
Hari
demi hari kulewati dan kuhabiskan sendirian di taman yang berada dekat dari kosku,
kira-kira kurang dari lima
menit jalan kaki. Namun, tak jarang kuhabiskan waktuku sendirian di sebuah kafe yang juga tidak terlalu jauh dari kosku,
sembari mencari beberapa referensi
untuk ide dalam komikku. Tanpa
kusadari sudah sebulan lamanya aku terus menggambar di dalam sketch book
ini.
Sampai
suatu hari aku meminta pendapat kepada temanku yang memang sudah pernah
menerbitkan beberapa komik, mulai konsultasi kepadanya tentang tahapan-tahapan
yang harus kujalani dalam pembuatan komik itu.
Aku
memilih genre Romantis sebagai aliran komikku, karena memang banyak permintaan
dari teman-temanku yang kisah cintanya menginspirasiku, dengan dipadukan
seidikit komedi yang akan menjadi pemanis dalam cerita komik itu.
Siang
itu, aku menemui Bram, meminta
sarannya tentang konsep dan ilustrasi dari gambarku, syukurnya tidak banyak
dari gambar dan cerita komikku
yang harus direvisi,
lalu ia menanyakan sesuatu yang merupakan bagian penting dalam pembuatan
komik digital.
“Untuk desainer dan editornya gimana nih, Ra? Gambarnya udah keren nih, ceritanya juga
menyentuh, harus cari desainerdesainer profesional saja… ” sarannya padaku.,
“Aku bisa desain kok, yah cuman desain pakai Corel
Draw App doang
sih, yah lumayanlah daripada harus repot-repot cari desainerdesainer lagi.” sanggahku.
“Sayang loh,... kalau didesain abal-abal, gambarnya bagus nih, kamu
nih bikin komik digital loh, yang bukan hanya cerita yang harus kamu buat
menarik,
namun gambar dan ilustrasinya harus bisa terlihat hidup agar meningkatkan minat
para pembaca.” jelasnya.
Aku
mulai berpikir ke mana
bisa kutemukan desainer-desainer yang memang bisa bekerja sama denganku. Sebenarnya aku kurang suka melakukan
sesuatu hal apalagi pekerjaan dengan sistem tim seperti itu, yah … sudah menjadi rahasia umum bahwa
menyatukan pikiran dengan orang lain itu tidak semudah mencari orang yang mau
bekerja sama dengan kita.
“Yah sudah Bram, kamu aja yang jadi desainerku, gimana? Kita temenan udah lama, masa iya kamu nggak mau bantuin aku.” aku membujuk Bram,
daripada harus susah- susah cari desainer yang belum kukenal
sama sekali.
“Bukannya
nggak mau Ra, tapi aku lagi ada proyek besar, aku juga sibuk, kalau seandainya saja aku free, aku bantuin kok, tapi kamu kan ngerti kesibukanku Ra, maaf ya
Ara.”
Memang
sih, Bram cukup sibuk dengan pekerjaannya. Aku
mulai bingung harus ke mana
mencari desainer yang bisa membantuku dalam
proyek ini.
Melihat
wajahku cemberut, mulai gelisah dan kebingungan harus bagaimana, ia pun
memberiku saran, “ Coba deh Ra, kamu cari fotografer, biasanyakan para fotografer bisa design tuh, menguasai aplikasi Photoshop juga.” ujar Bram.
“Aku harus cari di mana, Bram. Apa iya mau bantuin aku?”
“Ga ada salahnya kan, dicoba …?! Coba kamu cari di
Instagram atau ga di media sosial lainnya, nanti coba ajak kenalan, tanyain
bisa bantu apa nggak,
kan kali aja kamu nemu jodoh di sana,
ya kan … haha.” saran Bram yang mengejekku.
“Aahhh … bisa aja kamu. Oke deh nanti aku
coba, kalau kamu punya kenalan atau teman yang
bisa design kabari juga ya, Bram.”
Setelah
mengobrol panjang lebar, diskusi ini itu
tentang komik ku, tak terasa hari sudah sore, aku pulang terlebih dahulu karena memang ada beberapa urusan yang
harus kuselesaikan.
Keesokan
harinya, sepulang kuliah, tepatnya jam 4 sore aku kembali ke kos. Rasa bosan yang
terus menghampiri membuatku jenuh dan otak pun
terasa tidak bisa bekerja dengan baik, terasa seperti laptop yang kepenuhan memory dan kalau di-download
beberapa file lagi, bisa error
habis. Aku pikir lebih baik aku
menggambar beberapa scene di coffe shop
dekat kos. Dengan mengenakan sweater
abu-abu, celana jeans hitam
panjang,
dan sepatu Sneakers
perpaduan abu-abu dan putih, kubawa beberapa sketch book, drawing pen, dan pensil yang ada di dalam sweet ransel minimalisku. Sesampainya di coffe shop,
aku memesan Hot Greentea latte, dan cheese
cake strawberry yang menjadi menu andalan di coffe shop
tersebut dan memang sebagai menu favoritku di sana. Aku duduk di
pojok samping kaca, yang memang memiliki
view hijau sejauh mata memandang,
rasanya sangat fresh dan bisa memenangkan pikiran, secara tiba-tiba
mendatangkan ide-ide yang luar biasa.
Lantunan
lagu-lagu syahdu terdengar
melalui earphonet yang
tersambung dengan ponselku, membuat cerita yang kugambarkan
terasa hidup.
Bagaikan backsound
di serial drama-drama korea, terkesan
romantisme
yang tersirat dalam gambar itu bisa terasa menyentuh dan membuatku sangat
menjiwai kala menggoreskan pensil di atas
kertas sketch book-ku itu.
Kurang
lebih dua jam
sudah lamanya aku duduk sambil menggambar
di coffe shop itu, tiba-tiba datang seorang gadis
gendut pendek yang tertawa sembari menyapaku dan tiba-tiba duduk di hadapanku.
“Kaaaaakkkk … ngapain sendirian di sini, kayak nggak punya temen aja lu, hahahha…” ia
mengejekku, sambil menarik earphone
yang ada di telingaku. Ternyata Tiwi, dia bukan saudaraku, tapi hubungan
keluarga kami sangat dekat,
jadi aku menganggapnya sudah
lebih dari saudara jauh bahkan sudah
terasa seperti adikku sendiri. Dia memang selalu bersifat kekanakan dan
paling usil.
Hobinya
berburu cowok
ganteng, gonta-ganti
gebetan yang nggak jelas ending-nya
seperti apa. Setiap kali bertemu denganku, ia selalu menceritakan para
gebetannya yang saat itu sedang dekat dengannya, dari mulai seorang mahasiswa
hingga seorang pengusaha. Dia memiliki banyak
kenalan lelaki, yang dikenalnya melalui media sosial. Menurutku,
kenalan atau dapat gebetan dari media sosial, rasanya sedikit meragukan, memang
meragukan sih, yah …
secara kita nggak
tahu seperti apa mereka, apa latar belakangnya, bahkan kita pun nggak tahu seperti apa wajah pengguna
sosial yang chatting-an dengan kita, bisa aja kan … mereka menggukan foto profil palsu,
yang dibuat semenarik mungkin, untuk menarik lawan chatting-annya.
Rasanya kurang percaya untuk berteman lebih jauh melalui media sosial, bahkan
tak sedikit kejadian kriminal yang dialami dan dilakukan oleh pengguna media
sosial. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa sampai saat ini aku tidak
memiliki banyak teman. Dibandingkan
Tiwi, aku hidup terlalu banyak perhitungan, bahkan untuk berteman pun aku tidak
bisa percaya begitu saja, bagiku tidak ada satu orang pun yang tulus di dunia
ini dan tidak ada seseroang pun yang bisa kupercayai di sini.
Tiwi
terus menceritakan berbagai
tipe
lelaki yang ia kenal dari media sosial tersebut, yang bahkan mungkin ia sendiri
pun belum pernah menemuinya.
“Eh …
ini loh kak, aku dapat
temen baru, ia seorang ffotografer,
lumayan cakep kok, lihat
nih Instagramnya.” Ia
menunjukkan beberapa foto lelaki itu, tapi tak ada sedikit pun rasa ketertarikanku terhadap pria
yang ia ceritakan, bahkan aku pun
tidak memedulikan apa yang ia ceritakan selama itu. Aku terus menggambar.
Tiwi
mengajakku berfoto bersama di kafe tersebut, ia mengirimkan foto kami berdua kepada salah
satu kenalannya.
“Kak...
ini ada temenku minta nomor handphone-mu, gimana kasih nggak?”
“Nggak usah Dek. Aku juga nggak kenal.” sahutku dengan nada datar.
“Ya udah … aku bilang Kakak sudah nikah yah.” kata Tiwi sambil mengirim beberapa pesan
singkat kepada temannya yang bahkan aku sendiri pun tak tahu itu siapa.
Setelah
ia bercerita panjang lebar, yang aku pun tak tahu manfaat dan inti
pembicaraannya itu,
ia pergi meninggalkanku sendiri di coffe shop
itu. Kulanjutkan beberapa scene gambar
yang ada di sketch book.
Sembari menggambar aku teringat sekilas tentang cerita Tiwi mengenai fFotografer tadi, aku teringat akan saran
Bram untuk mencari seorang
ffotografer. Teringat akan hal itu, kutuliskan kata
“Photoworks” di kolom pencarian
di salah satu media sosial yang kupunya. muncul beberapa list ffotografer
dengan nama-nama
alay kebanggaan mereka.
Kucari
satu per satu fotografer yang sekiranya bisa
meyakinkanku dan bisa membantuku dalam project ini. Muncul satu nama teratas, terlihat di profilnya ia berteman dengan
Tiwi.
“Mungkin
ini bisa membantu, apa lagi
sepertinya dia sudah mengenal Tiwi, mungkin ini temannya
Tiwi.” Aku bergumam seorang diri.
Aku coba mem-follow
akun
Instagram-nya,
hanya saja aku bingung harus memulai chat dari mana. Ya udah nge-chat nya nanti ajalah, nggak tahu juga harus mulai dari mana.
Aku menutup ponselku, dan mengemasi beberapa barang yang masih berantakan di atas meja kafe. Kulihat,
banyak bangku kosong di sekelilingku,
dan ternyata hari memang sudah malam. Aku menutup sketch book
dan peralatan lainnya, keluar dari kafe tersebut lalu kembali ke kos yang memang hanya
berjarak berapa meter dari kafe itu.
Sesampainya
di kamar, handphone-ku berdering. Terlihat ada pemberitahuan dari Instagram yang muncul di layar ponselku,
fotografer yang ku-follow
tadi sewaktu di kafe ternyata merespons balik, yah ini bisa sedikit
memudahkanku untuk mulai komunikasi.
“Hi
kak.” sapanya, ia menge-chat-ku terlebih dulu, aku rasa ini awal yang baik,
aku tidak perlu repot-repot untuk memulai dan membuka pembicaraan, aku pun merespons
chat itu dengan sangat welcome. Sebenarnya,
aku tidak terlalu welcome pada orang
baru, terlebih kepada orang yang
hanya kukenal melalui media sosial, tapi aku pikir nggak ada salahnya dicoba, apalagi nanti
aku mencoba menawarkan kerja sama
padanya, terlebih sepertinya ia sudah
berteman
dengan Tiwi.
“Hi
J…” balasku
menyapanya.
“Tinggal di mana
nih?”,
“Tinggal di Jogja
Mas, kamu?”
“Jogja
juga, lagi apa nih …” ia terus memberikanku banyak pertanyaaan, sehingga tak
terasa kami mengobrol
panjang lebar lewat chat tersebut. Sampai kemudian dia meminta kontak person-ku agar bisa memudahkan kami dalam
berkomunikasi. Tanpa ragu, aku pun memberikan nomorku kepadanya.
Tak
biasanya aku seramah ini pada orang asing, apalagi sampai memberikan nomor HP-ku kepada orang yang baru kukenal,
terlebih aku mengenalnya hanya melalui media sosial, yang sebelumnya sangat
kuhindari untuk mengenal.orang
baru dari media sosial.
Tapi,
aku coba berpikir positif, nggak
ada salahnya berteman, terlebih ia pernah membahas beberapa tentang Tiwi, ia
menanyakan hubunganku
dengan Tiwi. Awalnya aku sedikit kaget, dari mana
ia tahu bahwa aku punya hubungan
dengan Tiwi. Ia melihat beberapa fotoku bersama Tiwi yang pernah ku-posting.
Lalu,ia menceritakan sedikit tentang Tiwi padaku. Hal itu sedikit membuatku lega,
yah setidaknya ia berteman dengan orang yang kukenal. Aku pun tak sungkan untuk lebih terbuka
kepadanya.
Kami
mulai terasa lebih akrab, aku merasa nyambung ngobrol dengannya, topik dan
candaan kami terasa tidak membosankan,
bahkan terasa seperti teman lama yang baru bertemu kembali, padahal belum
genap 24 jam aku berkomunikasi dengannya, bahkan
bertemu dengan orangnya pun belum pernah.
Aku
merasa heran kepada diriku sendiri yang tak biasa semudah ini kenalan bahkan
dekat dan seramah ini dengan orang baru.
Kami
terus chatting-an hingga tak kami sadari bahwa malam
sudah semangkin larut, dan ku lihat jam di ponselku menunjukkan tepat pukul 00.10 wib, tapi tak sedikit ada rasa kantuk
pada malam itu, sampai akhirnya ia pun mulai menutup pembicaraan dengan ucapan
“good night “. Semenjak hari itu rasanya mulai berbeda,
aku sampai lupa membahas mengenai desain
yang memang merupakan tujuan awalku untuk menghubunginya. Keesokan paginya Hp-ku berdering lagi, terlihat
ada tanda pesan masuk.
“Good
morning …” Greeting
pertama yang
kuterima pagi itu, tepat pukul 06.00 pagi. Aku tersenyum sambil menatap pesan singkat
darinya.
Biasanya,
hal pertama yang
kuperiksa di pagi hari ialah gambar-gambar di sketch book-ku, bukannya handphone. Karena memang tak
ada yang harus kuhubungi,
terlebih orang spesial yang selalu memberi
greeting
setiap waktu. Aku membalas pesan singkat darinya, dan pembicaraan kami melalui koneksi internet dimulai
dari pagi itu. Entah kenapa terasa sangat akrab sekali, aku tak segan sedikit
pun bercanda dengannya, mengejeknya, tertawa, dan terbawa suasana dalam obrolan itu.
Sore
harinya, dia mengajakku keluar sekadar mencari angina,, tanpa rasa ragu aku pun bersedia keluar bersamanya.
“Nanti
sore, kita jalan ya …
mau nggak?”
“Iya, jemput aja di kos.”
Tepatnya
di hari Jumat di bulan November pukul 17. 40 sore ia menjemputku
di kos, pertama kalinya
aku bersedia
jalan dengan orang yang belum kukenal sama sekali, dengan orang yang bahkan
baru berkomunikasi denganku selama satu hari.
Tapi
entah kenapa, tak ada sedikit rasa ragu, ketika ia mengajakku keluar
bersamanya.
Setibanya
di depan kos-ku,
seorang lelaki dengan mengenakan sweater
biru, celana jeans hitam panjang, tas kecil yang
disandangnya, dan mengenakan
kaca mata, tapi tak jelas kulihat
wajahnya, karena ia
mengenakan helm
racing
yang menutupi sebagian wajahnya.
Aku
tersenyum, melihat ia berada di depanku sore itu, kemudian ia memintaku naik dan duduk di motornya. Malam menjelang, kami
tiba di sebuah kafe, dengan konsep outdoor
rooftop. Kami memilih duduk di meja pojok kanan atas lantai 3, di mana
semua view terlihat indah dari sana .
Aku
sangat suka menatap bintang di langit, terasa damai dan tenang, terlebih
embusan angin yang menyentuh
kulitku,
terasa sangat damai malam itu. Kulihat
jelas wajahnya, berada tepat di depanku,
tatapan matanya yang begitu tajam, menghanyutkan. Senyumnya yang manis
membuatku tersipu malu. Diiringi
dengan lantunan lagu merdu , melarutkan suasana yang ada pada malam itu. Kami
bercanda, tertawa bersama, menceritakan tentang kehidupan kami masing-masing, di mana
aku merasa pertama kalinya
terbuka tentang kehidupan pribadiku. Mungkin aku mulai menyukainya. Kutatap
matanya, kulihat senyum manisnya, entah
kenapa seperti tersirat harapanku padanya.
Sesekali
ia genggam tanganku, tak keberatan sama sekali, bahkan kubalas genggaman tangannya,
sembari kembali menatap matanya. Orang yang melihat kedekatan kami pada malam
itu, mungkin tak akan mengira bahwa itu adalah pertemuan pertama kami. Asyiknya pembicaraan kami
malam itu, hingga tak terasa sudah larut malam, bahkan kafe itu pun sudah
siap-siap untuk tutup.
Kami pulang, namun hujan rintik-rintik
menghambat perjalanan kami, sesekali kami menunggu hujan reda di beberapa
tempat. Rasa lapar juga turut menghambat kepulangan kami, hingga sembari menunggu hujan
reda, kami singgah
di kios sate pinggir jalan. Di sana kami bercerita tentang sedikit
kuliner kesukaan masing-masing.
Aku
memang suka sekali kuliner, bahkan setiap kali traveling baik di dalam maupun luar negri, Kuliner menjadi tujuan pertamaku. Setiap topik pembicaraan yang
kami pilih terkesan kebetulan, tapi memiliki kesamaan. Tidak ada keraguan lagi
untuk bekerja sama atau berteman lebih jauh lagi dengannya.
Rasanya,
malam itu terasa seperti malam yang panjang, bahkan sudah lama rasanya tidak
tertawa seperti malam itu, melepaskan lelah, jenuh, berbagi becerita dengan
seseorang. Ia berhasil membuatku merasa nyaman, terbuka, tertawa, bahkan
membuatku lupa akan waktu.
“Bermula dari tatap matamu
menyihirku dan merasuk dalam hati
kuteruskan menatap dirimu
perlahan kularut dalam khayalanku
entah mengapa semua terasa berbeda, apa itu karena kamu?
Terasa begitu lembut caramu meluluhkan aku
begitu hangat caramu takhlukkanku
Aku terbuai karna pandanganmu
Ini kah kamu...
Terasa begitu singkatnya waktu tuk
hadirkan rasa ini.”
~~♡~~
Bersambung ....